gokil



HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM DALAM MEMBELA NEGARA

BAB I
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam konteks Indonesia ini yang merupakan suatu Negara yang demokratis tentunya elemen masyarakat disini sangat berperan dalam pembangunan suatu Negara, apalagi seorang muslim, dikarenakan sebagian besar penduduk indonesia adalah seorang muslim. Negara mempunyai hak dan kewajiban bagi warga negaranya begitu pula dengan warga negaranya juga mempunyai hak dan kewajiban terhadap Negaranya. Seperti apakah hak dan kewajiban tersebut yang seharusnya dipertanggungjawabkan oleh masing-masing komponen tersebut. Dalam tulisan makalah ini akan mencoba menulis tentang hak dan kewajiban yang dilakukan oleh masing-masing komponen tersebut. Apakan hak dan kewajiban Negara terhadap warga negaranya? Dan apa pula hak dan kewajiban warga Negara terhadap negaranya?
Negara merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat, dan yang paling nampak adalah unsur-unsur dari Negara yang berupa rakyat, wilayah dan pemerintah. Salah satu unsur Negara adalah rakyat, rakyat yang tinggal di suatu Negara tersebut merupakan penduduk dari Negara yang bersangkutan. Warga Negara adalah bagian dari penduduk suatu Negaranya. Tetapi seperti kita ketahui tidak sedikit pula yang bukan merupakan warga Negara bisa tinggal di suatu Negara lain yang bukan merupakan Negaranya. suatu Negara pasti mempunyai suatu undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang kewarganegaraan. Peraturan tersebut memuat tentang siapa saja kah yang bisa dianggap sebagai warga Negara. Di Indonesia juga salah satu Negara yang mempunyai peraturan tentang kewarganegaraan tersebut. Maka dari itu dalam makalah ini akan coba dijelaskan secara rinci.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian hak dan kewajiban itu?
2. Siapakah yang berhak menjadi warga Negara disuatu Negara?
3. Apakah wujud hubungan warga Negara dengan Negara ?
4. Bagaimana pandangan idiologis atas hak dan kewajiban warga negara?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian hak dan kewajiban.
2. Mengetahui seseorang yang berhak menjadi warga Negara disuatu Negara.
3. Mengetahui korelasi hubungan warga Negara dengan Negara.
4. Menjeaskan pandangan idiologis atas hak dan kewajiban warga negara.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak dan Kewajiban
Dalam konteks kata hak dan kewajiban adalah mengandung 2 kata yaitu hak dan kewajiban. Dari masing-masing kata tersebut tentunya mempunyai arti tersendiri. Menurut Prof. Dr. Notonegoro Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. Menurut pengertian tersebut individu maupun kelompok ataupun elemen lainnya jika menerima hak hendaknya dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain jadi harus pihak yang menerimannya lah yang melakukan itu. Dari pengertian yang lain hak bisa berarti sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunanya tergantung kepada kita sendiri contohnya hak mendapatkan pengajaran. Dalam hak mendapatkan pengajaran ini adalah tergantung dari diri kita sendiri, kalau memang menganggap bahwa pengajaran itu penting bagi kita pasti kita akan senagtiasa akan belajar atau sekolah atau mungkin kuliah. Tapi kalau ada yang menganggap itu tidak penting pasti tidak akan melakukan hal itu.
Kata yang kedua adalah kewajiban , kewajiban berasal dari kata wajib. Menurut Prof. Dr. Notonegoro wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Kewajiban pada intinya adalah sesuatu yang harus dilakukan. Disini kewajiban berarti suatu keharusan maka apapun itu jika merupakan kewajiban kita harus melaksaakannya tanpa ada alasan apapun itu. Dari pengertian yang lain kewajiban berarti sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.

2.2 Penentuan warga Negara Indonesia
Siapa saja yang dapat menjadi warga negara dari suatu negara? Setiap negara berdaulat berwenang menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negara. Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan.
Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis . Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah.
a. Asas Ius Soli
Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan.
b. Asas Ius Sanguinis
Asas yang mennyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupa asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat :
a.      Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan status kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
b.      Asas persamaan derajat berasumsi bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaaraan suami atau istri. Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewarganegaraan. Jadi mereka dapat berbeda kewarganegaraan seperti halnya ketika belum berkeluarga.
Negara memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai dengan asas yang dianut negara tersebut. Dengan adanya kedaulatan ini, pada dasarnya suatu negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan. Negara lain juga tidak boleh menentukan siapa saja yang menjadi warga negara dari suatu negara.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2)
Warga Negara Indonesia.
Negara Indonesia telah menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negara . ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 26 UUD 1945 sebagai berikut :
1.      Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara
2.      Penduduk ialah waraga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
3.      Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang
Beradasarkan hal diatas , kita mengetahui bahwa orang yang dapat menjadi warga negara Indonesia adalah :
a.      Orang-orang bangsa Indonesia asli
b.      Orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang menjadi warga negara
Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan . Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.      Telah berusia 18(delapan belas) tahun atau sudah kawin
2.      Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima)tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut
3.      Sehat jasmani dan rohani
4.      Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
5.      Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun
6.      Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda
7.      Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap
8.      Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Asas-asas yang dipakai dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia meliputi :
a.      Asas Ius Sanguinis, yiatu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarakan keturunan bukan negara tempat kelahiran
b.      Asas Ius Soli scera terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan berdasarakan negara tempat kelahiran, yang diperuntukkan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
c.       Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang
d.      Asas kewaraganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

2.3 Hubungan warga Negara dengan Negara
Wujud hubungan anatara warga negara dengan negara adalah pada umumnya adalah berupa peranan(role). Peranan pada dasarnya adalah tugas apa yang dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki, dalam hal ini sebagai warga negara. Hak dan kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam Pasal 27 sampai pasal 34 UUD 1945. Bebarapa hak warga negara Indonesia antara lain sebagai berikut :
1.      Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
2.      Hak membela negara
3.      Hak berpendapat
4.      Hak kemerdekaan memeluk agama
5.      Hak mendapatkan pengajaran
6.      Hak utuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia
7.      Hak ekonomi untuk mendapat kan kesejahteraan sosial
8.      Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial
Sedangkan kewajiban warga negara Indonesia terhadap negara Indonesia adalah :
a.      Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan
b.      Kewajiban membela negara
c.       Kewajiban dalam upaya pertahanan negara
Selain itu ditentuakan pula hak dan kewajiban negara terhadap warga negara. Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara. Beberapa ketentuan tersebut, anatara lain sebagai berikut :
a.      Hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintah
b.      Hak negara untuk dibela
c.       Hak negara untuk menguasai bumi, air , dan kekayaan untuk kepentingan rakyat
d.      Kewajiban negara untuk menajamin sistem hukum yang adil
e.      Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara
f.        Kewajiban negara mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat
g.      Kewajiban negara memberi jaminan sosial
h.      Kewajiban negara memberi kebebasan beribadah
Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang telah tertuang dalam UUD 1945 mencakup berbagai bidang . Bidang –bidang ini antara lain, Bidang politik dan pemerintahan, sosial, keagamaan, pendidikan, ekonomi, dan pertahanan.

2.4 PANDANGAN IDIOLOGIS ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN
2.4.1 Idiologi Negara RI
Berdasarkan pertanyaan diatas tentu sebuah hak dan kewajiban warga negara tidak lepas dari idiologi yang dianut oleh sistem kenegaraan. Landasan utama bangsa indonesia adalah Pancasila. Tentu saja Pancasila sebagai landasan warga negara Indonesia dalam bertingkah laku, termsuk segala mekanisme pemerintahan pemerintahan.
Pancasila, menurut Soekarno (2006) sebagai penggali dijelaskan bahwa Pancasila telah mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Tidak terlepas pada revolusi melawan imperialisme di bumi nusantara untuk menyatakan kemerdekaan, Pancasila sebagai filsafat cita-cita dan harapan segenap bagsa Indonesia. Bahkan pada sila ke tiga disebutkan “ Persatuan Indonesia “. Hal inilah yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki semangat bersatu dari beragam suku bangsa yang berbeda. Perbedaan itu lenyap ketika mereka menyadari arti persamaan sebagai bangsa Indonesia.
Terlebih semangat persatuan bangsa Indonesia telah dikumandangkangkan pada sumpah pemuda. Para pemuda bersumpah berbangsa satu, bertanah air satu dan menjunjung bahasa persatuan.
Bukti-bukti yang telah diuraikan ini menunjukan negara Indonesia didirikan atas pondasi persatuan. Negara yang terdiri dari beragam identitas mampu disatukan atas nama persatruan. Dengan demikian bersarkan teori yang dinyatakan Geovanni Gentle (Syahrian:2003) bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara nasionalis.

2.4.2 Kewajiban Nasionalisme
Menurut Gentle melalui idealisme murni yang terpengaruh dialektika Hegel, pada dasarnya individu memiliki kehendak atau ego. Pada tataran subjektif individu mengenal hubungan antara manusia yang satu dan lainnya. Setelah individu mecapai tahapan roh objektif, maka terciptalah komunitas. Melalui komunitas beragam ego individu melebur menjadi sejarah, kebudayaan, bangsa atau peradaban. Inilah yang disebut kesadaran mutlak individu.
Didasarkan tujuan kehidupan bersama dibentuklah negara. Beragam kepentingan individu dengan meninjau pada teori Gentle, tentu melebur menjadi kepentingan bersama. Negara tidak mungkin memberikan kepuasan atas setiap kepentingn individu dan beragam kehendak yang saling bersebragan. Maka demi tujuan utama dibentuknya suatu negara harus terdapat otoritas negara menentukan pilihan atas beragam kehendak.Dan melalui negara kepentingan-kepentingan individu telah melebur menjadi kepentingan bersama.
Negara ibarat masa depan nasib bersama. Kepentingan individu adalah kepentingan egois yang menitik beratkan pada kebutuhan pribadi. Tidak mungkin tanpa ototritas yag kuat sebuah negara mampu mnetukan pilihan yang terbaik bagi masa depan suatu bangsa.
Bila masih terdapat kepentingan-kepentingan egoisme tentu pembelotan dari tujuan dibentuknya negara. Pada kondisi yang seperti ini harus terdapat persamaan persepsi atas seluruh warga negara. Warga negara harus rela memberikan loyalitasnya kepada negara diatas kepentingan pribadi. Karena negara memiliki nilai-nilai kearifan sebagai pelayan, pelindung dan pengayom bangsanya.

2.4.3 Hak Warga
Sebagai warga negara yang baik harus memahami bahwa segala kehendak warga negara yang melebur dalam lembaga negara adalah kehendak rakyat. Kehendak yang dimulai dari kehendak individu, berinteraksi dengan konsekuensi identitas mahluk sosial. Maka terbentuklah nilai komunalitas yang disebut kesadaran objektif, hingga merambah pada kesadaran mutlak.
Artinya hak individu tidak diperbolehkan egois mempengaruhi kepentingan tatanan hidup bersama atas kepentingan pribadi. Hal ini adalah kenyataan yang tak dapat diingkari.
Termasuk pada kenyataan kebijakan pemerintah adalah hasil representasi kepentingan-kepentingan yang berjalan melalui tatanan sehingga diambil keputusan terbaik. Bukan saja terbatas kepentingan individu, akan tetapi hasil dari kepentingan banyak individu yang terakumulasi hubungan mahluk sosial.(Gentile:1928).

2.4.4 Permasalahan Kebebasan
Gagasan yang telah disampaikan oleh Lipman (1922) menjelaskan bahwa opini publik adalah ini dari pembahasan kebijakan. Hal ini menandakan era keterbukaan. Keberadaan opini publik berfungsi sebagi beragam pihak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Melalui jalur non strukturalis, beragam pihak mampu mempengaruhi pemerintahan. Melalui ruang publik seseorang maupun kelompok memiliki kekuasaan di luar wewenang untuk ikut serta mempengaruhi kestabilan negara.
Bentuk-bentuk lain keberadaan pihak diluar wewenang yang mampu mempengaruhi negara adalah para borjuis. Melalui ruang publik maupun beragam proses kekuasaan, kapitalis mampu mempegaruhi keberadaan para pejabat untuk berkonspirasi mencari keuntungan. Proses pemerintahan yang tidak sehat dan dianggap sebagai rahasia umum ini menunjukkan kuatnya aktor-aktor yang non legitimasi untuk bergentayangan mendominasi sebagai tuan-tuan kelompok penekan.(Westergard dan Resler, 1976).
Walaupun tidak dapat disangkal bahwa kapitalis atau pasar sebagai faktor signifikan mempengaruhi kebijakan, akan tetapi perlu terdapat pembatasan yang jelas antara kepentingan perseorangan sebagai saudagar dan pelaku birokrat.
Permasalahan mendasar pada negara yang memberikan era keterbukaan ini mewariskan permasalahan mekanisme birokrasi yang tidak lepas dari nilai-nilai kapitalis. Hal yang banyak terjadi, keberadaan pejabat maupun birokrat tidak lepas dari modal awal untuk memasuki ranah bagian penyelenggara pemerintahan. Konsekuensi yang terjadi persepsi tugas kepercayaan negara sebagai harapan masa depan bangsa, menjadi kesempatan berbisnis mencari keuntungan maksimal. Pada posisi inilah terjadi tumpang tindih antara identitas birokrat dengan pedagang.
Solusi yang diberikan pada kasus ini adalah profesionalisme status. Tidak dibenarkan adanya kekuasaan yang tidak diimbangi wewenang. Seperti hal yang telah disampaikan oleh negarawan Jerman Adolf Hitler (2008) dalam bukunya Mein Kamf; seseorang yang terkuatlah yang pantas menjadi pemimpin. Ini menafsirkan bahwa keberadaan aktor-aktor yang memiliki kekuasan menjadikan permasalahan baru. Aktor-aktor tersebut mampu menjadikan kondisi negara tidak sehat. Idealisme para birokrat tercemari oleh proses yang legal maupun ilegal.
Wabah kapitalis terjadi melalui beragam aktifitas kebebasan beragam pihak melalui ruang publik. Maka tindakan-tindakan aktor-aktor tersebut menjadikan provokasi yang berlanjut kepada distabilitas dan intgrasi. Hal lain yang terjadi dari kebebasan tersebut adalah beragam kelompok kepentingan yang terakumulasi dalam beragam kalangan; baik kapitalis NGO, CSO dan birokratis terjadi persaingan dalam rangka kepentingan pribadi atau kelompok.
Akibat dari sistem yang terjaga ini menjadikan rakyat sebagai korban kapitalis. Tujuan negara sebagai lembaga yang menaungi rakyat menjadi ajang persaingan kepentingan. Tentu berakibat pada lepasnya kewajiban sebagai warga negara yang baik, yang memberikan pengabdiannya kepada negara.

2.5  MEMBELA NEGARA DARI SUDUT PANDANG ISLAM
Sebuah aksioma bahwa jihad adalah ibadah dan amal shalih yang paling afdhol dimana hal ini tentunya tidak lepas dari stipulasi rukun-rukunnya serta kewajiban-kewajibannya. Seperti halnya tidak boleh bagi seorang muslim untuk pergi sholat sedang ia tidak mengetahui hukum-hukumnya, demikian pula tidak boleh untuk masuk ke dalam bab ini (jihad) dan mengaku dirinya sebagai seorang mujahid sedang ia bodoh akan hukum-hukum jihad. Maka, wajib bagi seorang muslim sebelum terjun dalam perkara ini agar mengerti apa itu jihad, atas landasan apa ditegakkan, dengan siapa menegakkannya, dan apa pula syarat serta rukun-rukunnya, apakah telah terpenuhi ataukah tidak?
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- sebelum kita menentukan jihad atau bukan perang membela negara, ada beberapa kondisi yang menyebabkan jihad menjadi fardlu ‘ain.
Kondisi pertama: jika waliyyul amri memerintahkan untuk berjihad fi sabilillah, maka tidak boleh seorangpun menyelisihinya untuk tetap tinggal kecuali yang memiliki udzur. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibanding dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain dan kamu tidak akan memberikan kemudharatan padaNya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At Taubah: 38-39).
Kondisi kedua: jika musuh mengepung suatu negeri, yakni musuh datang lalu masuk ke suatu negeri dan mengepungnya, ketika itu jihad menjadi fardlu ‘ain bagi seriap orang penduduk negeri itu sekalipun para wanita atau orang tua yang mampu untuk membela negaranya. Karena ini adalah perang pembelaan bukan perang dalam artian penyerangan (untuk perluasan Islam).
Kondisi ketiga: apabila telah memasuki barisan perang dan bertemu kedua pasukan (kafir dan muslim), maka jihad ketika itu menjadi fardlu ‘ain, tidak boleh bagi seorangpun untuk berpaling. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur), barangsiapa yang mundur di waktu itu kecuali berbelok (untuk siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS Al Anfaal: 15-16). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan berpaling pada saat bertemunya dua pasukan termasuk salah satu dari tujuh dosa-dosa besar yang membinasakan.
Kondisi keempat: jika manusia membutuhkan kepada orang yang mampu menggunakan senjata, dalam posisi tak ada seorangpun yang mengetahui cara penggunaan senjata baru tersebut kecuali seorang saja, maka menjadi fardlu ‘ain bagi dia untuk berjihad meskipun tidak diperintahkan oleh pemimpin negara karena ia dibutuhkan.
Dalam empat kondisi inilah jihad menjadi fardlu ‘ain, adapun selainnya adalah fardlu kifayah.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- oleh karena itu, dalam kondisi yang kita jalani sekarang ini wajib bagi kita untuk mengingatkan kepada segenap orang bahwa ajakan untuk pembebasan negara dan yang semisalnya adalah ajakan yang tidak relevan, dan wajib untuk membekali setiap orang dengan persiapan agama yang matang, katakanlah, “Bahwa kami membela agama kami sebelum segala sesuatu.” Karena negeri kami adalah negeri agama dan negeri Islam yang butuh akan proteksi dan pembelaan, maka harus membela negara dengan niat seperti ini.
Para ahli ilmu berkata, “Wajib bagi setiap muslim untuk berjihad memerangi musuh Allah, agar kalimat Allah menjadi tinggi, bukan karena tujuan membela negaranya, sebab berperang semata-mata membela negara bisa dilakukan semua orang baik muslim maupun kafir. Maka seorang muslim ketika membela negaranya jangan semata-mata karena itu negerinya, tetapi karena negeri itu adalah negeri Islam, membelanya dengan tujuan untuk penjagaan terhadap Islam.”
Adapun membela negara dengan dorongan nasionalisme atau fanatisme kaum, ini juga dapat dilakukan semua pihak baik muslim ataupun kafir. Yang demikian itu tidak akan membawa manfaat sedikitpun bagi pelakunya pada hari kiamat, de facto tidak dinamakan mati syahid, bila terbunuh dalam keadaan membela negara dengan niatan seperti itu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena fanatisme kaum, berperang supaya dikatakan pemberani, dan berperang agar mendapat predikat kaum grand-monde, manakah yang termasuk fi sabilillah? Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang supaya kalimat Allah menjadi tinggi maka itulah fi sabilillah.” (HR. Bukhori, Muslim dari sahabat Abu Musa).
Jika berperang karena negara, maka keadaannya sama dengan orang-orang kafir. Berperanglah agar kalimat Allah menjadi tinggi, telah ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah yang terluka di jalan Allah -dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di jalanNya- kecuali datang pada hari kiamat dan lukanya akan mengalirkan darah yang berwarna merah dan berbau misk.” (HR. Bukhori no 5533, dan Muslim no 1876 dari sahabat Abu Hurairoh).
Disadur secara bebas dari pernyataannya Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin tentang “Berperang untuk Negara” pada saat hari-hari pertama invasi Iraq atas Kuwait dengan sedikit tambahan dari penulis.






BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Pengertian Hak dan Kewajiban.
ü  Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
ü  Kewajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan.

3.2 SESEORANG YANG BERHAK MENJADI WARGA NEGARA
ü  Seseorang berhak menjadi warga negara Indonesia didasarkan adanya asas-asas pribumi asli dan tanah kelahiran. Sedangkangkan ketetapan hukumnya mengacu pada 26 UUD 1945.

3.3 Hubungan warga Negara dengan Negara
Hubungan institusi pemerintahan yang mengatasnamakan negara dengan warga negara memiliki timbal balik. Baik negara maupun warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk saling memberikan konstribusi.

3.4 PANDANGAN IDIOLOGIS ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN
Negara sebagai wadah bagi bangsanya dalam menuju kehidupan yang di amanatkan melalui Undang-undang. Dalam rangka penyeimbangan antara kedudukan antara warga negara dengan negara maka dibuatlah hak dan kewajiban.



Daftar Pustaka
ü  Gentile, Giovanni.1928.The Philosophy of The Modern State. Translated by H.W.Schneider.Oxfor:New York.
ü  Ernita Dhevid Fellistyarini dan Jati Seputr0.2010. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA
ü  Syahrian, Ery.2003.Fasisme Terorisme Negara. Pondok Edukasi: Solo.
ü  Hitler, Adolf. 2008. Mein Kamf. Translated by Ribut Wahyudi and Sekar Palupi. Narasi: Yogyakarta.
ü  Oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsari (mudir Ma’had Adhwa’us Salaf, Bandung)
ü  Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno.Media Presindo: Yogyakarta.
ü  Westergarad, J. and Resler, H.1976. Class in Capitalist Society, Penguin, Harmondswort: Middx.
ü  Lippman, W. 1922. Public Opinion.Macmilan: New York.
0 Responses

Posting Komentar